Naik ke Puncak Monas di Malam Hari
Sama seperti orang-orangnya, Jakarta
baru “tidur” larut malam. Tempat umum rata-rata buka sampai pukul
22.00, sedangkan jalan raya dan angkutan umum masih ramai hingga
menjelang tengah malam.
Di Jakarta, mencari hiburan
sepulang beraktivitas tidaklah sulit. Nah, kalau ingin yang sedikit
berbeda, kamu bisa mencoba naik ke puncak Monas di malam hari. Tengaran
paling terkenal se-Indonesia ini sekarang punya program Wisata Malam
yang memungkinkan kamu melihat gemerlap ibu kota dari puncak Monas
selepas matahari terbenam.
Kunjungan kedua saya ke Monas cukup spontan. Malam itu cuaca baik, hanya sedikit berawan. “Main ke Monas enak, nih,” pikir saya.
Saya
masuk melalui pintu IRTI, yang sekarang terkenal dengan nama Pintu
Lenggang Jakarta. Setelah melewati stan-stan makanan dan suvenir, saya
tiba di area lapangan Monas. Tidak jauh dari situ, terdapat halte
sederhana tempat pemberhentian kereta wisata. Kereta ini mengantar
penumpang gratis sampai ke pintu masuk Monumen Nasional.
Setelah
turun dari kereta wisata, saya masuk ke pintu Monumen Nasional,
kemudian menyusuri lorong bawah tanah yang berujung di loket penjualan
tiket.
Nah,
ada yang berbeda dari kunjungan pertama saya ke puncak Monas. Tahun
lalu, saya membayar dengan uang tunai kemudian diberi tiket kertas.
Sekarang, saya dikenakan biaya tambahan Rp10 ribu, kemudian diberi
sebuah kartu JakCard. Kartu pembayaran elektronik keluaran Bank DKI ini
dapat diisi ulang untuk naik TransJakarta, bayar parkir IRTI Monas,
masuk Kebun Binatang Ragunan, Museum Seni dan Keramik, Museum Wayang,
dan Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua. Harga tiket untuk sampai puncak
adalah Rp15 ribu per orang. Kalau kamu pergi beramai-ramai, cukup
membeli satu JakCard pun boleh, kok.
Setelah
mendapat kartu JakCard edisi Wisata Malam Monas, saya kembali menaiki
tangga dan menyusuri lorong untuk sampai ke elevator. Di perjalanan,
saya melewati aula besar dengan lantai dan dinding marmer bernuansa
kuning. Kemudian, saya juga menyempatkan diri masuk ke ruangan yang
dinding-dindingnya berhiaskan naskah proklamasi berukuran raksasa,
burung Garuda, dan peta Indonesia berwarna emas yang bagus sekali.
Karena
waktu sudah mendekati pukul 20.00, saya tidak berlama-lama di ruangan
tersebut. Saya bergegas menuju elevator dan mengantre bersama pengunjung
lain.
Di depan elevator terdapat mesin tapping.
Namun — sepertinya karena alasan ketertiban — saat saya mengantre,
seorang petugas menghampiri untuk meminta kartu JakCard. Rupanya,
petugas tersebutlah yang akan menempelkan kartu JakCard pengunjung ke
mesin palang. Jadi, setelah kartu di-tap, para pengunjung tinggal lewat dan kembali berbaris masuk elevator.
Setelah
masuk elevator, ada bapak petugas yang duduk di depan tombol lift.
Hanya ada tiga pilihan lantai di lift tersebut, yaitu dasar, cawan, dan
puncak. Bapak petugas menekan tombol “puncak”, kemudian seisi elevator
melesat ke atas.
Saat pintu elevator terbuka, tibalah
saya di area observasi. Di sana terdapat teropong yang sudah
tidak berfungsi dan foto gedung-gedung sekitar Monas.
Karena
teropongnya tidak dapat dipakai, maka saya hanya sekadar melihat
pemandangan malam dengan mata telanjang. Namun, itu saja sudah bisa
membuat saya senang. Ternyata malam itu bulan purnama. Di bawah bulan —
yang makin malam tampak makin besar — terlihat ratusan lampu gedung
menyala terang. Cantik!
Sambil
memotret bulan, saya memperhatikan sekeliling. Sepertinya tidak ada
orang Jakarta selain saya dan teman saya. Bahasa daerah dengan rupa-rupa
dialeknya lebih riuh terdengar. Saya juga melihat beberapa pengunjung
dari luar negeri, tapi tidak banyak.
Buat
orang yang takut tinggi seperti saya, berada di puncak Monas pada malam
hari tidak sampai membuat keringat dingin keluar. Saat melihat ke
bawah, saya merasa lebih aman dan tenang karena langit malam mengaburkan
sensasi “ngilu” saat berada di ketinggian.
Setelah
puas memotret dan menikmati semilir angin malam, saya mengantre turun
elevator. Setelah masuk, petugas menekan tombol “cawan” dan menawarkan
pengunjung untuk melihat area tersebut. Area cawan berupa pelataran
terbuka yang lebih luas dari dek observasi puncak Monas. Pelataran ini
sangat menyenangkan untuk duduk-duduk atau istirahat sebentar sebelum
pulang.
Di
sini, saya mendongak ke atas lalu baru sadar kalau Monas itu tinggi
sekali. Pantas di atas sana kubah Istiqlal terlihat mungil.
Tidak
terasa, sudah lewat pukul 21.00. Dari cawan, saya mengikuti petunjuk
arah yang membawa saya kembali ke area loket, melewati terowongan bawah
tanah, lalu naik kembali ke lapangan Monas. Dari situ, saya naik kereta
wisata menuju pintu Lenggang Jakarta.
Mau naik ke puncak Monas di malam hari juga? Perhatikan hal-hal berikut ini, ya.
- Datanglah saat cuaca baik.
- Kereta wisata yang mengantar pengunjung bolak-balik dari pintu Lenggang Jakarta ke pintu masuk Monumen Nasional datang setiap 5-10 menit sekali. Kalau sedang tidak ada, ditunggu saja, ya, supaya hemat tenaga. Apalagi kalau kamu datang bersama orang tua atau anak-anak.
- Sedang ingin jalan kaki? Dari arah gerbang Lenggang Jakarta, berjalanlah ke arah kiri (timur) mengitari lingkar Monas, agar lebih dekat ke pintu masuk tempat loket berada. Kalau kamu jalan ke arah kanan (barat), kamu harus memutari hampir 3/4 lapangan Monas.
- Pakailah alas kaki yang nyaman. Baik naik kereta wisata atau jalan kaki ke loket, kamu akan menjumpai banyak anak tangga sebelum sampai ke elevator.
- Bawa jaket. Bagian puncak Monas relatif terbuka, jadi anginnya rawan bikin masuk angin.
- Sempatkan main ke cawan karena pemandangannya juga bagus.
- Antrean terakhir untuk naik ke puncak Monas adalah pukul 20.00.
- Di puncak Monas, pengunjung tidak diberi batasan waktu. Namun, jam operasional Monas hanya sampai pukul 21.00, lalu pukul 22.00 seluruh gerbang Monas akan dikunci.
https://www.wego.co.id/berita/naik-ke-puncak-monas-di-malam-hari/
No comments:
Post a Comment